laman

Selasa, 29 April 2014

Mengunjungi Peternakan Ayam Bu Eko Supra di Kediri

       Walau habis mengikuti acara besar yaitu Gelar Produk Pertanian dan Perikanan Kota Surabaya, seakan sudah tak terasa lagi capek dan lelahnya karena hari ini kami akan berangkat ke Kediri untuk menengok Bu Eko Supra yang baru pindah ke kota tersebut. Teringat bagaimana beratnya hati kami ketika harus melepas kepindahan beliau sekeluarga, tapi kami berusaha menyadari dan mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa itulah pilihan terbaik baginya. Saya begitu terpukul mendengar rencana Bu Eko Supra untuk pindah ke kampung halamannya tepatnya di Ngadiluwih, Kediri karena sejak awal berdirinya Kelompok Tani Elok Mekar Sari, beliau selalu aktif mengikuti pertemuan rutin setiap bulan dan selalu bersedia bila dikirim pelatihan kemana saja juga bila ada kegiatan di kelompok tani beliau selalu membantu meskipun harus menutup tokonya beliau rela. Beliau juga sangat rajin berinovasi mengolah bahan makanan, diantaranya dodol rumput laut, abon lele, pizza lele, lemper lele, bothok jamur, pepes jamur dan es gansu alias degan palsu. Saya begitu merindukan sosok yang begitu sederhana dan rendah hati tapi selalu mengerjakan dengan baik bila ditugasi membuat olahan apapun walaupun belum pernah mencoba tapi hasilnya tak pernah mengecewakan, seseorang yang kehadiran dan kiprahnya begitu berarti bagi Kelompok Tani Elok Mekar Sari.
         Pagi ini kami sudah sampai di Stasiun Gubeng Lama menunggu Kereta Api Dhoho Penataran yang akan membawa kami ke Stasiun Ngadiluwih. Tepat jam 08.30 WIB kereta api berangkat meninggalkan Stasiun Gubeng Lama, suasana dalam kereta menjadi hiruk pikuk karena ibu - ibu mulai sibuk mengeluarkan bekal makanan yang lumayan banyak, sampai kami bingung mana yang akan dipilih duluan. Ada pisang rebus, tahu isi, lumpia, arem - arem, rujak buah, martabak telor, roti kabin, nasi ayam suwir dan kerupuk upil. Mulai kereta api berangkat sampai di Stasiun Ngadiluwih, kami rame bercerita sambil tertawa sedangkan mulut tak berhenti makan apa saja yang ada hingga tak terasa kereta api sudah berjalan 4 jam lamanya dan akhirnya berhenti di tempat tujuan kami. Dari kaca jendela kereta api sudah terlihat Bu Eko Supra terus melambaikan tangannya didepan Stasiun Ngadiluwih yang sepi dan lengang. Begitu turun dari kereta api, kami langsung menyerbu dan memeluk Bu Eko Supra, rasanya kami sudah lama sekali tidak bertemu. Akhirnya kami semua naik mobilnya Bu Eko Supra menuju rumahnya, tak berapa lama mobil sudah masuk ke dalam halaman yang luas dan banyak pohon rambutan yang mengitari rumah besar tersebut. Rumah yang besar dan halamannya yang luas lagi asri, membuat kami lega dan lapang mengingat kami terbiasa hidup diperumahan yang hampir tidak ada halamannya dan tak bisa merasakan teduhnya pepohonan juga semilirnya angin berhembus sambil duduk santai di teras rumah seperti disini.
        Ternyata Bapaknya Bu Eko Supra adalah mantan Kepala Desa Purwokerto Kecamatan Ngadiluwih yang sangat disegani dan kharismanya masih terpancar jelas, diusianya yang menginjak 80 tahun. Keramahan dan sikap mbatih langsung terasa ketika keluarga Bu Eko Supra menyambut kedatangan kami, membuat kami betah dan merasa berada dirumah kami sendiri. Sambil melepas penat dan bercerita tak lupa kami menikmati sajian khas pedesaan yaitu tahu kuning goreng khas Kediri ditambah cabe rawitnya yang baru saja dipetik dari halaman, kerupuk ketela pohon, lemet bakar ( jajanan dari ketela pohon yang diparut lalu diberi parutan kelapa dan irisan gula merah kemudian dibungkus daun pisang lalu dikukus ) dan tentu saja kopi panasnya, sehingga ceritanya makin lama dan panjang juga tambah seru. Kami dipersilakan makan siang karena memang sudah waktunya, ada sambal terasi satu cobek besar, sayur ketela pohon muda yang direbus, lalap ketimun, lele dan patin goreng, lele bumbu rujak, ikan asin dan tempe goreng. Dengan lahap semua menikmati menu makan siang yang begitu nikmat dan lezat, hingga membuat kami selalu ingin nambah dan nambah terus.
         Selanjutnya kami ingin mengetahui usaha Keluarga Bu Prayit disini yaitu mengelola peternakan ayam potong. Jaraknya dengan rumah lumayan sekitar 3 kilometer, sekitar kandang ayam adalah sawah yang ditanami pohon tebu yang sudah waktunya dipanen dan didepannya ada jalan raya menuju ke Wates sedangkan kandang ayamnya ada dua dan bangunannya semuanya kokoh dan besar yang terbuat dari bambu sedangkan pondasinya dari beton, masing - masing kandang mampu menampung 5000 ayam potong. Untuk melihat ayam - ayamnya kami harus naik tangga dua kali dan sampailah pada ayam - ayam potong yang berbulu putih dan gemuk - gemuk, kelihatan sudah waktunya dipanen karena umurnya sudah sekitar 56 hari, keadaannya sangat nyaman sekali, ada kipas angin besar yang terus menyala, radio dilengkapi pengeras suara yang selalu melantunkan lagu - lagu berirama dangdut yang terus berbunyi nyaring tujuannya agar mengurangi rasa stres pada ayam - ayam tersebut, semua itu dihidupkan sampai masa panen berakhir karena ayam potong ini gampang stres dan bisa langsung mati sehingga butuh perawatan dan perlakuan ekstra dari peternak. Kebersihan kandang dan tempat makan dan minum juga tersedianya pakan dan minum yang cukup serta pemberian vaksin dan vitamin yang dipantau langsung oleh tenaga penyuluh pertanian bidang peternakan menjadi syarat mutlak bila ingin berhasil dibidang ini. Kami sangat kagum dan bangga atas usaha baru keluarga Bu Eko Supra di tempat kelahirannya, semua dikerjakan dengan sungguh - sungguh dan bisa mempekerjakan warga sekitarnya. Sebelum kami meninggalkan kandang ayam Bu Eko Supra, kami masih sempat memetik daun ketela pohon yang muda, mengambil ketela pohon langsung dari pohonnya juga mengambil beberapa batang tebu untuk dikupas dan dipotong kecil - kecil yang kalau digigit, airnya terasa manis juga harumnya yang khas.
         Sampai di rumah Bu Eko Supra, kami langsung bersiap untuk kembali ke Surabaya karena menjelang senja kami sudah harus naik keatas Kereta Api Penataran Dhoho di Stasiun Ngadiluwih. Bu Eko Supra membawakan saya oleh - oleh tiwul kering untuk dibuat konsumsi saat ada pertemuan Kelompok Tani Elok Mekar Sari mendatang dan beliau berusaha datang saat pertemuan tersebut. Rasa haru bercampur aduk saat kami harus berpisah kembali dengan Bu Eko Supra, sepintas terlihat matanya berkaca - kaca saat  kami memeluk dan meninggalkannya sendiri di stasiun. Kami segera meninggalkannya dengan langkah tergesa menuju kereta api yang memang berhentinya hanya sebentar. Hari semakin gelap, lewat jendela kaca kereta saya lihat hanya Bu Eko Supra yang masih berdiri terpaku di depan Stasiun Ngadiluwih, beliau tiada henti memandangi kepergian kami sambil terus melambaikan tangannya.

                                                          Di Stasiun Gubeng Lama
                                         Suasana Di Dalam Kereta Api Dhoho Penataran
                                                           Tiba di Stasiun Ngadiluwih
                                                     Sampai Di Rumah Bu Eko Supra
                          Ke Tempat Peternakan Ayam Potong Milik Keluarga Bu Eko Supra
Ayooo Mengambil Hasil Kebun
Ketika Harus Berpisah
Senja di Stasiun Ngadiluwih
Pulang Ke Surabaya